Sudah menumpuk sebenarnya dari a sampai z yang ingin aku ceritakan padamu. Tapi lagi-lagi saat mimpi mau berbaik hati pertemukan kita barang berapa detik, di sana aku hanya diam menatapmu, terpaku, bahkan menangis dalam mimpi pun aku lupa caranya. Sampai tangan hangatmu merengkuh dan memelukku–dalam mimpi. Ingin mengucapkan selamat pagi pun aku tak kuat, bibirku tergetar dalam mimpi. Seandainya bisa tak usahlah lagi aku terbangun, agar abadi dalam pelukanmu. Damai rasanya saat itu. Rindu tak usah diucapkan. Aku tahu kau pun sama rindunya denganku, pelukanmu bilang begitu padaku tadi.
Ma, kadang rasanya sangat rapuh dan hampir meluruh tak kuat lagi dua kakiku menopang cerita-cerita ini sendirian. Angin-angin bergemuruh membuyarkan rindu, tapi kotak rinduku tak pernah kosong untuk namamu. Kau pergi terlalu pagi, Ma. Dan aku menyesali beberapa detik kubiarkan sia-sia. Harusnya aku tidak memejamkan mata sebentar pun. Tetap kugenggam tanganmu, saat detik mulai taburkan bau perpisahan. Kau masih secantik terakhir kita bertemu dengan blus batik bercorak parang rusak, setidaknya itu yang aku ingat di pertemuan beberapa jam lalu. Aku selalu berdiri di depan jendela ini, menunggu malaikat lewat yang bersedia kutitipkan surat ini dan membacakannya untukmu. Supaya kau tahu rindu tak pernah habis.
Gemerincing lonceng subuh sudah terdengar menyusup lewat jendela kamar yang terbuka. Aku menutup jendela kamar, tapi rindu tak kan ikut tertutup. Rinduku padamu akan hidup sepanjang musim, Ma.
* * *
Purworejo, 23 September 2014, 23:03

By Vivi Klorofers

Tiang-tiang cahaya yang hangat menerobos kelopak mataku yang terkatup. Aku mengangkat wajah yang sebelumnya menggandeng setia kaca meja makan. Ternyata, saking asiknya pesta yang diadakan keluargaku semalam, aku jadi ketiduran di dapur. Sambil menguap beberapa kali dan mengucek mataku yang terasa sepat karena baru saja terbangun, aku memperhatikan sekeliling.
Di atas meja, masih ada lebih dari setengah bundaran kue putih bertabur bubuk kayu manis. Aku tersenyum memandanginya. Teringat pesta penyambutan sekaligus perayaan yang dilakukan oleh keluargaku semalam.
Benar-benar menyenangkan bisa merayakan nilai cumlaude ku dengan memakan kue buatan tangan ibuku sendiri.
Sekali lagi, senyum terkembang di bibir tipisku.
Aku hendak beranjak mandi saat ku dengar suara pintu diketuk. Dengan tergesa-gesa,aku membuka pintu.
Seorang wanita tua yang merupakan tetanggaku menyembulkan wajah usai aku membuka pintu. Nenek itu kemudian memelukku secara tiba-tiba. Itu membuatku limbung dan hampir saja jatuh. Aku bertanya-tanya, sebenarnya, ada apa dengan sikapnya itu?
"Semoga kau diberi ketabahan atas kematian ayah,ibu,dan kedua adikmu dua hari yang lalu. Maaf aku tidak memberitahumu saat itu juga karena aku takut berita ini akan merusak acara wisudamu." isaknya sambil masih memelukku.
"Tunggu Nyonya! Apa Nyonya bercanda? Bagaiman bisa Ayah,ibu,Nina,dan John sudah mati dua hari yang lalu? Mereka baru saja membuat pesta perayaan kelulusanku semalam!"

By Qusnul Khoirunnisa Nur Rizqi

Jamal memiliki seorang kekasih seorang designer terkenal bernama Farras. Suatu hari, setelah kepulangan Farras dari Batik Expo and Competition di New York yang mendapatkan juara tiga, Farras memberikan design batik tersebut kepada Jamal. Design batik tersebut memang khusus pria.
Namun, setelah dipakai oleh Jamal, batik tersebut kekecilan disebabkan badan Jamal yang gemuk nan tinggi. Farras merasa kecewa, Jamal tidak ingin Farras merasa kecewa. Jamal berjanji kepada Farras bahwa dia akan menurunkan berat badannya hanya untuk memakai batik buatan Farras dengan elegant dan tidak mengecewakan Farras, akhirnya rasa kecewa Farras sedikit terobati.
Selama dua sampai tiga bulan penuh Jamal diet dan rajin olahraga, dia menjaga makanan yang masuk ke dalam tubuhnya, minum obat pelangsing, serta tak lupa puasa.
Kemudian dia bilang kepada kekasihnya dia ingin memperlihatkan tubuhnya yang baru sambil memakai batik tersebut. Farras sangat senang, dia ingin bertemu dengan Jamal keesokan harinya. Jamal pun langsung mencari-cari batik tersebut.
Namun takdir berkata lain, batik tersebut tidak ada di lemari Jamal. Dia kemudian bertanya kepada Ibunya, ibunya menjawab tidak tahu. Jamal memiliki adik perempuan bernama Khanza.
“Za, lihat batik kakak yang dari kak Farras gak?”
“Aku pinjemin ke temen aku!”
“HAAAAAHHH? Kok ga bilang?”
“Kakaknya lagi olahraga…”
Tidak ada waktu lagi untuk mencari karena malam harus bekerja.
“Ambil!”
“Aku gak tahu nomor telepon temanku! Tapi aku tahu rumahnya!”
“Ya udah, kakak antar…”
Menaiki motor butut Honda 80 bersama adiknya Khanza mengelilingi ibukota untuk mencari rumah temannya tersebut. Panas terik ibu kota, polusi kendaraan, serta macet tidak menjadi rintangan bagi Jamal.
Sesampainya di rumah temannya tersebut, temannya menyatakan batik tersebut dia pinjamkan lagi ke salah satu temannya, Jamal tidak marah.
Beruntung Khanza tahu rumah temannya yang satu lagi.
Mereka berangkat lagi, lagi-lagi harus bertemu dengan macet. Sesuatu yang tak diduga muncul, mereka kehabisan bensin di tengah jalan.
Mereka terpaksa mendorong motor butut tersebut mencari eceran terdekat. Tapi, Jamal sadar bahwa dia sekarang berada di masa punahnya BBM eceran.
“Pom jauh amat ya…”
Jamal masih semangat, sedangkan adiknya Khanza sudah mulai kecapekan. Tiga puluh menit mendorong motor, mereka sampai di pom dan mengisi bensin mereka. Kendala kembali muncul, Jamal membawa uang kurang. Tapi beruntung lagi Khanza membawa uang lebih.
Mereka berangkat lagi, dan sampai di rumah temannya. Temannya bilang, batiknya dipinjam lagi. Jamal sedikit kesal, tapi terima saja. Temannya bilang, sekarang teman yang meminjam batiknya sedang di RS. Jamal mendatangi RS tersebut dengan ban yang kempes. Tak ada waktu untuk menambal.
Sesampainya di RS, langsung menuju ruang yang dituju. Namun, jam jenguk sudah habis. Beruntung kali ini Khanza memiliki nomor HP temannya tersebut. Dia telepon dan ibunya yang mengangkat. Khanza bilang untuk membawakan batik yang anaknya pinjam, kebetulan anaknya membawanya ke RS.
Ibunya datang menghampiri Jamal di ruang tunggu sambil membawa batik tersebut. Batik tersebut terlihat kusam dan kusut, seperti tidak pernah dicuci ataupun disetrika.
Emosi Jamal mulai meluap, dia gelar batik tersebut. Ternyata batik tersebut sobek hebat di bagian belakang.
“BATIK GUEEEEEEEE!!!!!”
Akhirnya Jamal marah, berteriak, dan menangis guling-guling sambil memeluk batiknya, meskipun dia berada di RS.
Pandeglang, 21 September 2014, 02:28 WIB

By Rein Zukaichi


Hujan ini meresonansikan sesuatu kan? Iya, sesuatu yang kusebut sebagai kenangan. Ada jutaan mungkin kenangan yang terjadi saat hujan, salah satunya yang selalu kuingat, kenangan tentang dirimu. Di sini, saat hujan, enam tahun lalu. Saat aku mengatakan iya dan menerima bunga yang kau petik di jalan bukannya bunga yang seharusnya kau siapkan dengan baik. Iya, enam tahun lalu, dan kemudian semuanya berjalan terlalu indah.
Hujan ini mengingatkan padamu, tentu saja. Bagaimana aku dapat melupakan aromanya? Aroma hujan bercampur kebahagiaan yang kau sajikan. Ah, bagaimana aku bisa melupakan bagaimana kelihatannya? Uap dingin berpendar di jendela, membuatnya menjadi buram dan melihat senyummu. Aku tidak tahu apa hubungannya, hanya saja kaca buram dan senyummu itu mengingatkanku pada sesuatu yang manis.
"Sudah enam tahun kan sayang?" Lagi, di kafe ini aku duduk, dengan dua cangkir cappucino panas dan cookies coklat kesukaanmu, menunggumu untuk datang, kau selalu saja terlambat.
Hujan ini selalu mengingatkanku padamu di enam tahun lalu,meresonansikan sedikit kebahagiaan dalam hatiku.
"Terimakasih untuk enam tahun ini." Aku tersenyum, menyesap kopiku sebelum dingin. Aku bersyukur memilikimu, memiliki senyum itu, memiliki semua kenangan itu.
Hingga akhirnya hujan mereda dan cangkirmu tidak pernah tersentuh, saat kafe ini menjadi semakin sepi, akan ada luka yang menyayat hatiku. Tentang dirimu yang tidak pernah datang. Bukankah kau berjanji untuk menemuiku di sini? Saat itu, beberapa tahun lalu, sebelum Tuhan lebih menginginkanmu untuk berada di sisinya


By Nurul Fatimah


Matahari pagi mengantarkanku kembali dari dunia fantasy yang selalu hadir dalam tiap tidurku. Minggu pagi yang benar-benar cerah hari ini, membuatku merasa bersemangat untuk menjalani hari.
“Hemm, pagi yang cerah. Ini mungkin sedikit memberi semangat untukku- kurasa.”
Segera aku masuk ke kamar mandiku, membersihkan diri. Setelah selesai aku menyiapkan pakaian yang akan kugunakan hari ini. Sebuah batik berwarna coklat, aku tak tahu batik apa itu tapi bentuk coraknya seperti awan.
Yah, walau aku tak tahu, tapi aku tetap memakainya karena ini sebuah pemberian berharga. Memakai ini setahun sekali kurasa tak akan membuatnya marah.
Setelah cukup lama bersiap, dari luar kamar terdengar suara anakku yang memanggil.
“Ayah...ayah, apa kau sudah siap?”
“Iya, tunggu sebentar, Nel!”
Aku hampir lupa kalau anakku sudah menunggu, dia memang selalu lebih dulu bangun setiap tanggal hari ini. Aku seorang ayah dengan satu anak perempuan yang cantik, kurasa aku harus cepat agar dia tak kesal nantinya.
“Maaf, ayah tadi sedang berpakaian.”
“Hmm...seperti biasa ayah terlihat tampan dengan batik itu.”
“Tentu saja, karena ayah memang tampan sejak awal. Baiklah, ayo kita berangkat.”
Kami keluar dari rumah dan segera masuk ke dalam mobil, lalu aku segera memacu mobilku dengan kecepatan sedang menuju tempat itu. Kurasa dia sudah menantikanku hari ini untuk mengunjunginya seperti tahun-tahun sebelumnya.
Tak lama kamipun sampai, aku segera memarkirkan mobilku kemudian berjalan bersama anakku. Dua puluh menit kami berjalan, akhirnya kami sampai di tempat itu. Tempat pembaringan untuk istriku yang tercinta.
Aku duduk di depan pusaranya itu, memandang papan yang tertulis namanya dan tanggal yang sama dengan hari ini.
“Aku datang seperti biasanya. Lihat, aku masih memakai batik pemberianmu yang sangat kau sukai saat aku memakainya. Walau kau tahu aku tak begitu menyukai pakaian ini, tapi tetap saja kau memaksaku. Bahkan kau sengaja memfotoku setelah memakai batik ini, itu sangat memalukan tapi kau tahu, aku masih menyimpan foto itu.”
Saat aku mengucap itu, anakku pun ikut duduk di sampingku. Menabur bunga yang sudah aku beli sebelumnya saat di perjalanan.
“Sudah dua belas tahun, kau lihat anak kita sekarang. Dia tumbuh cantik seperti dirimu. Aku sungguh senang, semoga kau juga senang di sana, melihat kami dengan senyuman indahmu. Aku juga selalu berharap agar kita bisa dipertemukan lagi. Terimakasih, terimakasih karena memberiku kebahagian. Aku tak akan pernah melupakanmu.”
Sesaat kemudian, air mataku mengalir mengenangnya-Istriku.
Palembang, 20 September 2014, 20.47 WIB.

By Ara

Sudah lelah mata ini melihat beruntung semua pekerjaanku hampir selesai, aku mencoba langsung berbaring ke tempat tidurku yang nyaman ini.
“Dio... cepat turun!”
Hah..! merepotkan saja, lebih baik aku segera turun jika tidak mungkin akan menjadi buruk.
“Ada apa bu? Dan kenapa adik menangis?”
“Sendal batikku hilang, kakak harus mencarinya sekarang?” jawabnya sambil menangis
“Heii.. apa tidak bisa dicari besok saja, sekarang sudah mulai gelap.”
Ahh mengganggu saja, ternyata dia langsung memanggil ibu dan menyuruhku untuk mencarinya sampai ketemu, yahh mau bagaimana lagi jika ibu yang berbicara maka tidak akan ada yang berani untuk membantahnya.
Hanya suara jangkrik yang mengiringi perjalanan pulangku tiba-tiba.
“Apa sudah ketemu kak?”
Hatiku semakin panas oleh tingkahnya itu dan kesabaranku sudah mencapai batasnya.
“Apa-apaan sih kamu ini, sudah tau kakak capek, PR kakak juga belum selesai, ditambah besok kakak juga besok ada ulangan, lupakan saja sendal bututmu itu!”
Yah entah kenapa dia sangat menggemari segala sesuatu yang berhubungan dengan batik.
“Kak, bagaimana jika aku beri hadiah jika kau menemukannya?”
Dia tersenyum licik.
“Tapi ini sudah malam!”
Jawabku ketus
“kakak sudah capek ya? Tapi kak pokoknya harus ketemu sekarang!”
Langsung saja ku lempar senter itu ke mukanya.
“kenapa kau tidak ikut mencari, malah berlagak seperti mandor!”
“apa kakak tidak ingin meliha aku senang?”
Jawabnya sambil merengek.
Aku langsung berjalan melewatinya dan segera memungut senter tadi, namun saat aku bangun dia langsung melemparku dengan sendalnya.
*plakkkk
“Ternyata kau cukup berani yah melawan kakak mu sendiri?”
“Sekarang kita impas”
“Ya sudah sana cari sendiri”
Aku bergegas masuk sambil menahan rasa sakit akibat lemparan sendalnya, sepertinya dia masih merengek diluar sudah lah lupakan saja.
“Bu apa aku bisa tampil bagus besok? Sendalku hilang? dan apa kakak besok menontonku? kakak pasti masih marah sama aku bu.”
“Apa yang mereka bicarakan? Ahh sudah lebih baik aku tidur.” Gumamku
Alarmku berbunyi ternyata jam menunjukan 20 menit sebelum bel masuk, betapa kagetnya aku dan langsung bergegas untuk mandi, setelah mandi aku langsung memakai seragamku, aku tercengang karna melihat adikku yang ternyata sudah siap dari tadi.
“kak aku bawakan tas batik ini ya?”
“terserah kau saja, cepat berangkat”
Matahari semakin tinggi dan tak terlihat satupun anak sekolah dijalan, aku pun sampai ke sekolah adikku yang memang dekat dengan sekolah ku, namun ada yang aneh dengan sikap adikmu hari ini.
“akhirnya sampai juga, are kenapa mereka semua tertawa melihatku?”
Aku bingung apa ada yang aneh denganku setelah aku melihat seragamku aku baru tersadar kalau aku salah memakai seragam, hanya malu yang bisa kurasakan sampai bel pelajaran berakhir.
*kriingg
Ternyata pesan dari ibu menyuruhku untuk datang melihat adikku yang berlomba, lupakan saja aku sedang malas sekarang. Aku menolak ajakan ibuku dan langsung berjalan pulang kerumah.
Saat di perjalanan hpku kembali bergetar. Ada pesan isinya bahwa nyonya septi kecelakaan. Bagaimana mungkin itu ibuku aku bergegas menuju rumah sakit sesuai alamat di hpku ternyata benar ibu dan adikku sekarang berada di ruang ICU. Aku melihat tas adikku yang berlumuran darah di samping pintu, saat ku buka ada sebuah kado batik bertuliskan "HAPPY BIRTHDAY ke -17 kak"
Kebumen, 24 September 2014
By Andhika Prasetyo 

Sudah lama sekali sejak aku pulang ke solo tepat nya 10 tahun yang lalu.
Aku kembali kerumah kediaman kakek ku yang dulu sudah tiada 5 tahun yang lalu.
Saat aku berada di depan halaman ku lihat bu'de ku yang sedang menyapu halaman. Aku menghampiri nya dan mencium tangan nya bu'de lalu bu'de ku memeluk ku sambil terharu tak menyangka bahwa aku sudah sebesar ini.
Malam hari yang sunyi di daerah karanganyar dengan hawa udara yang dingin dan riuh suara jangkrik, aku pun menyeruput teh hangat yang di berikan bu'de ku lalu, kami duduk bercerita menanyakan keadaan kami masing2.
Saat di akhir pembicaraan kami bu'de ku menyinggung tentang warisan yang telah di berikan kakek padaku.
Aku melihat bu'de ku pergi ke kamar kakek ku dan keluar membawa sebuah bungkusan.
Aku hanya terdiam dan tidak bisa berkata apa2, aku hanya bisa melihat gurat2 airmata yang ber-kaca2.
Dan terlihat bibi ku mulai menitikan air mata, air mata menetes dan membasahu kain yang di bawa nya lalu, dia memberikan sebuah kain batik padaku.
Dan bu'de ku bercerita padaku di saat menjelang kematian nya kakek ku menitip kain ini padaku bibi ku bila aku tidak bisa datang untuk menjenguk nya saat di saat terakhir nya.
Mata ku tanpa sadar menitikan air mata dan semakin lama semakin banyak yang keluar hingga membasahi pipi ku.
Aku pun merenung melihat kain batik itu, waktu tak akan bisa di ulang aku menyesal saat di masa hidup nya aku tak pernah berkunjung dan menghibur nya sebagi cucu.
Bogor,24 september 2014, 23:08 WIB

By Harts Boy Notan