Matahari pagi mengantarkanku kembali dari dunia fantasy yang selalu hadir dalam tiap tidurku. Minggu pagi yang benar-benar cerah hari ini, membuatku merasa bersemangat untuk menjalani hari.
“Hemm, pagi yang cerah. Ini mungkin sedikit memberi semangat untukku- kurasa.”
Segera aku masuk ke kamar mandiku, membersihkan diri. Setelah selesai aku menyiapkan pakaian yang akan kugunakan hari ini. Sebuah batik berwarna coklat, aku tak tahu batik apa itu tapi bentuk coraknya seperti awan.
Yah, walau aku tak tahu, tapi aku tetap memakainya karena ini sebuah pemberian berharga. Memakai ini setahun sekali kurasa tak akan membuatnya marah.
Setelah cukup lama bersiap, dari luar kamar terdengar suara anakku yang memanggil.
“Ayah...ayah, apa kau sudah siap?”
“Iya, tunggu sebentar, Nel!”
Aku hampir lupa kalau anakku sudah menunggu, dia memang selalu lebih dulu bangun setiap tanggal hari ini. Aku seorang ayah dengan satu anak perempuan yang cantik, kurasa aku harus cepat agar dia tak kesal nantinya.
“Maaf, ayah tadi sedang berpakaian.”
“Hmm...seperti biasa ayah terlihat tampan dengan batik itu.”
“Tentu saja, karena ayah memang tampan sejak awal. Baiklah, ayo kita berangkat.”
Kami keluar dari rumah dan segera masuk ke dalam mobil, lalu aku segera memacu mobilku dengan kecepatan sedang menuju tempat itu. Kurasa dia sudah menantikanku hari ini untuk mengunjunginya seperti tahun-tahun sebelumnya.
Tak lama kamipun sampai, aku segera memarkirkan mobilku kemudian berjalan bersama anakku. Dua puluh menit kami berjalan, akhirnya kami sampai di tempat itu. Tempat pembaringan untuk istriku yang tercinta.
Aku duduk di depan pusaranya itu, memandang papan yang tertulis namanya dan tanggal yang sama dengan hari ini.
Aku duduk di depan pusaranya itu, memandang papan yang tertulis namanya dan tanggal yang sama dengan hari ini.
“Aku datang seperti biasanya. Lihat, aku masih memakai batik pemberianmu yang sangat kau sukai saat aku memakainya. Walau kau tahu aku tak begitu menyukai pakaian ini, tapi tetap saja kau memaksaku. Bahkan kau sengaja memfotoku setelah memakai batik ini, itu sangat memalukan tapi kau tahu, aku masih menyimpan foto itu.”
Saat aku mengucap itu, anakku pun ikut duduk di sampingku. Menabur bunga yang sudah aku beli sebelumnya saat di perjalanan.
“Sudah dua belas tahun, kau lihat anak kita sekarang. Dia tumbuh cantik seperti dirimu. Aku sungguh senang, semoga kau juga senang di sana, melihat kami dengan senyuman indahmu. Aku juga selalu berharap agar kita bisa dipertemukan lagi. Terimakasih, terimakasih karena memberiku kebahagian. Aku tak akan pernah melupakanmu.”
Sesaat kemudian, air mataku mengalir mengenangnya-Istriku.
Palembang, 20 September 2014, 20.47 WIB.
By Ara
0 komentar:
Posting Komentar